30 oktober 1994, tepat 17 tahun lalu dimana aku di lahirkan
di Jogjakarta. Aku memang bukan orang yang suka memaknai arti ulang tahun, bagi
ku itu hanya seperti kemarin, hari ini, atau besok. Tapi entah mengapa
menurutku tahun ini spesial. Bukan hanya karena KTP, SIM, atau lain sebagainya.
Tapi tahun ini adalah tahun pertama ku melewati hari ini tampa kakek dan nenek.
28 oktober 2011, 2 hari sebelum hari ini, 49 hari setelah
meninggalnya kakek, nenek turut menyusul kakek setelah 1 hari di rawat di rumah
sakit. Sebuah berita yang mengejutkan dimana pada siang hari nenek masih
terlihat segar. Walau 2 hari sebelumnya nenek sempat dirawat di rumah sakit,
akan tetapi beliau sudah di nyatakan sembuh, dan boleh di bawa pulang ke rumah.
Namun, setelah ibadah sholat jum’at beliau kembali kambuh dan kumbali di rawat
di rumah sakit yang berbeda.
11 tahun bersama kakek dan nenek di desa dayu, karangpandan,
karanganyar jelas suatu perjalanan hidup yang tak kan mungkin terlupakan. Beliau
berdua adalah orang-orang pertama yang meletakkan pondasi kehidupan pada ku. Terutama
nenek, beliau adalah orang yang mengjari ku arti keja keras, etos tertib dalam
hidup, kasih sanyang sebagai seorang ibu, dan banyak hal lain yang takkan
mungkin terlupakan. Beliau pula lah yang mengajari ku arti kesederhaan hidup
dan mensyukurinya. Salah satu cita-cita terbesar ku adalah membahagiakan beliau.
Walau sampai akhir hayatnya itu belum sempat terwujud.
Malam itu, aku datang ke rumah sakit tempat nenek di rawat. Aku
memang sudah lama tidak mengunjungi nenek karena kesibukan ku bersekolah dan
berorganisasi di SMA. Saat nenek berada di rumah sakit yang pertama pun aku
tidak bisa datang, selain karena tidak tau, aku saat itu mengikuti final turnamen
sepak bola antar kelas di SMA ku. Dan malam itu aku berniat untuk menjenguk
beliau sekaligus melepas rindu. Ketika aku sampai di ruang perawatan, aku tak
bisa menahan air mata lagi. Kondisi nenek begitu lemah, sudah tidak bisa duduk
sendiri, dan berbicara dengan jelas. Aku awalnya sempat ragu mendekat, aku
tidak mau mengganggu istirahat nenek. Akan tetapi, pakde yang ada di situ menyuruhku
untuk mendekat, dan budhe segera membantu nenek untuk duduk. Dan itulah saat
yang membuat air mata ku semakin deras. Nenek memeluk dan mencium pipiku
seperti saat aku masih kecil dulu. Dan beliau berpesan dengan suara yang sudah
tidak lagi jelas. “Ojo nangis, Mbahe loro”
(jangan menangis, nenek sakit) , dan itu adalah salah satu kata-kata
terakhirnya. Karena setalah itu nenek kembali berbaring, lalu mencoba duduk
lagi namun sudah tak mampu. Tak lebih dari 10 menit kemudian nenek tlah tiada. Aku adalah orang terkhir yang beliau peluk,
dan pakde berpesan padaku, aku adalah orang terakhir yang di tunggu nenek untuk
berpamitan.
Mungkin aku menyesal belum dapat membahagiakan beliau,
mungkin aku menyesal tidak dapat menemani beliau di hari-hari sebelumnya, akan
tetapi aku tak mau menangis lagi… selain tidak boleh, setidaknya itu mandat terakhir
beliau yang masih bisa ku lakukan…
Salmat jalan kakek, selmat jalan nenek, semoga kakek dan
nenek dapat tenang di sisi Allah. Maafkan cucu mu ini bila banyak memiliki
kesalahan dan belum dapat membahagiakan kakek dan nenek…
Dan terimakasih untuk teman-teman yang turut ber duka cita
kemarin, dukungan dan semangat kalian sangat membantu. Dan walau aku bukan
orang yang memaknai hari ulang tahun, tapi aku mengapresiasi segala bentuk
ucapan selamat kalian. Terimakasih banyak…
Karanganyar, 30 Oktober 2011
Fadli.a.a